Laman

Kamis, 25 September 2014

Mencintai Kebaikan Untuk Oranglain



Dari Abu Hamzah Anas bin Malik -Rodhiyallohu 'Anhu-, pelayan Rosululloh, dari Nabi -Shollallohu 'Alaihi Wasallam-, beliau bersabda,

"Tidak beriman salah seorang dari kalian sehingga ia mencintai untuk saudaranya segala (kebaikan) yang dicintainya untuk dirinya sendiri."

[HR. Al-Bukhori (No.13) dan Muslim (No.45)]

>> Syaroh hadits di atas dari Imam An-Nawawi -Rohimahulloh- :

Sabdanya,

"Tidak beriman salah seorang dari kalian sehingga ia mencintai untuk saudaranya segala (kebaikan) yang dicintainya untuk dirinya sendiri."

Pertama-tama, hadits di atas difahami pada keumuman persaudaraan, sehingga mencakup kafir dan muslim. Ia suka untuk saudaranya yang kafir apa yang disukainya untuk dirinya, yaitu masuk ke dalam islam, sebagaimana ia suka untuk saudaranya yang muslim akan kekonsistensinya di atas agama islam. Karena itu, mendoakan orang kafir agar mendapatkan hidayah dianjurkan.

Hadits ini difahami sebagai penafian iman yang sempurna dari orang yang tidak mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri. Yang dimaksud dengan mencintai ialah menginginkan kebaikan dan kemanfaatan. Kemudian yang dimaksud ialah kecintaan yang bersifat diniyyah (ukhrowi), bukan cinta yang bersifat basyariyyah (kemanusiaan). Karena tabiat manusia kadangkala tidak menyukai kebajikan yang diperoleh (orang lain), dan mengutamakan selainnya atas dirinya sendiri. Tapi manusia wajib menyelisihi tabiat kemanusiaannya, mendoakan untuk saudaranya, dan berharap untuknya segala yang disukainya untuk dirinya sendiri.

Selama seseorang tidak mencintai, untuk saudaranya, segala yang dicintainya untuk dirinya sendiri maka ia orang yang dengki. Kedengkian itu, sebagaimana kata Al-Ghozali, terbagi menjadi tiga macam :

Pertama, ia menginginkan hilangnya kenikmatan dari orang lain dan meraih untuk dirinya.

Kedua, ia mengharapkan hilangnya kenikmatan dari orang lain, meskipun nikmat tersebut tidak diraihnya. Demikian pula jika ia memiliki sepertinya, atau ia tidak menyukainya, dan ini lebih buruk daripada yang pertama.

Ketiga, ia tidak mengharapkan hilangnya kenikmatan dari orang lain, tetapi ia tidak suka orang tersebut mengungguli bagian dan kedudukannya. Ia ridho bila setara, tapi tidak ridho bila melebihinya. Ini juga diharamkan, karena ia tidak ridho dengan pembagian Alloh -Subhanahu Wa Ta'ala-. Dia berfirman,

"Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Robbmu, Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat." [QS. Az-Zukhruf : 32]

Siapa yang tidak ridho dengan pembagian ini, berarti ia telah menentang pembagian-Nya dan kebijaksanaan-Nya. Setiap manusia harus mengatasi dirinya, membawanya supaya ridho dengan qodho', dan menyelisihinya, dengan menyeru musuhnya kepada apa yang menyelisihi nafsunya. [1]
__________________________

[1] Imam Al-Ghozali -Rohimahulloh- berkata setelah menyebutkan hakikat iri hati dan hukumnya, "Urutan iri hati ada empat tingkatan :

1. Dengki agar kenikmatan hilang dari saudaranya yang didengki walaupun kenikmatan tersebut tidak berpindah kepadanya. Ini adalah sifat dengki yang paling jelek.

2. Dengki agar kenikmatan tersebut berpindah kepadanya karena dia menyukainya seperti keinginan memiliki rumah bagus, istri cantik, daerah kekuasaan. Dia berkeinginan memilikinya dan kenikmatan tersebut hilang. Namun ia membenci kenikmatan tersebut juga dinikmati orang lain.

3. Tidak memperoleh kenikmatan tersebut, namun dia menghendaki semisalnya apa bila dia tidak mampu memperoleh semisalnya, maka dia dengki dan menghendaki agar orang lain juga tidak mendapatkan kenikmatan tersebut supaya tidak nampak kesenjangan sosial tersebut.

4. Berkeinginan memperolehnya untuk dirinya sendiri namun bila tidak berhasil dia tidak dengki kepada orang lain.

Kriteria terakhir ini dimaafkan ketika berkaitan dengan dunia, dan disunnahkan ketika berkaitan dengan agama."

Lihat Al-Ihya karya Imam Al-Ghozali -Rohimahulloh- cetakan Dar Ash-Shofa, 3/156.

[Dikutip dari Buku Syarah Arba'in An-Nawawi : Penjelasan 42 Hadits Shahih tentang Pokok-pokok Ajaran Islam. Disyarah oleh : Al-Imam An-Nawawi, Al-Imam Ibnu Daqiq Al-Id, Syaikh Abdurrahman As-Sa'di, dan Syaikh Muhammad Al-Utsaimin -Rohimahumulloh-. Hal. 147-149 pada pembahasan hadits ke-13]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Para Pengunjung yang budiman! Silahkan untuk memberikan saran, kritikan, dan komentarnya mengenai artikel yang ada di web ini. Namun, tetap memperhatikan etika dalam memberikan saran, kritikan, dan komentar.