Laman

Sabtu, 27 September 2014

Jenis Cerita Misteri yang Paling Tidak Saya Suka


Membaca dan mendengarkan cerita merupakan dua hal yang sangat saya sukai. Karena kesukaan saya inilah yang membuat saya membeli "beberapa" buku novel. Walaupun tidak semua jenis novel saya baca, ada beberapa novel yang tidak saya sukai, salahsatunya ialah novel bergendre remaja atau cinta-cintaan, apalagi kalau ditambah bumbu-bumbu "islami", katanya.

Nah, kemudian diantara cerita yang suka ialah cerita berjenis misteri atau mistik. Hampir setiap cerita yang seperti ini saya baca sampai rampung walaupun ceritanya lumayan panjang. Bahkan, cerita-cerita atau drama radio yang berjenis ini saya patengin terus meskipun acaranya dimulai mendekati tengah malam. Tapi, entah mengapa akhir-akhir ini sensasi saya dalam mendengarkan dan membaca cerita mistik mulai berkurang. Entah mungkin karena telah terbiasa atau ceritanya yang monoton, entahlah?!. Namun, yang jelas ada beberapa hal yang paling tidak saya sukai dari salahsatu jenis cerita ini, yaitu salahsatunya ialah apabila ceritanya diambil dari sudut pandang "hantu".


Ada beberapa alasan yang membuat saya tidak menyukai jenis cerita ini :

Pertama, seringkali cerita ini diutarakan oleh mereka yang terkenal sebagai manusia "indigo" atau yang sejenis dengannya. Mereka mengaku bisa berkomunikasi dengan "hantu". Lalu si "hantu" menceritakan hal ihwal kehidupannya dahulu hingga kematiannya. Di sni jelas bahwa si "indigo" hanya berfungsi sebagai penyampai kabar semata sehingga tak patut untuk diperdebatkan. Hanya saja, menurut saya dalam penyampaian kabar ini seharusnya si "indigo" mempunyai pengetahuan lebih dalam ilmu agama sehingga bisa menimbang denga adil apa-apa yang diucapkan oleh si "hantu", tidak menerima mentah-mentah begitu saja. Seandainya si "indigo" memiliki ilmu agama niscaya ia akan mementahkan informasi dari si "hantu" yang rata-rata mengaku sebagai ruh gentayangan dari orang yang diceritakannya. Si "Indigo" pasti akan tahu bahwa si "hantu" sedang menjalankan kebohongan, sedang menjalankan sandiwara. Apabila ini terpenuhi, niscaya si "indigo" bukan hanya sebagai pengkabar tetapi juga sebagai penjelas mengenai kebohongan si "hantu". Akan tetapi, pada kenyataannya kebanyakan indigo yang saya dapatkan telah termakan oleh bualan para "hantu". Sehingga dalam hati saya terbesit pertanyaan, "Inikah yang namanya indigo? Padahal apa yang saya baca dari keterangan para psikolog bahwa anak indigo itu orang yang serba ingin tahu "mengapa" tapi di sini saya dapatkan tidak seperti itu keadaannya...!"

Kedua, sebagian cerita yang seperti itu hanyalah karangan belaka, fiktif. Kalau sudah seperti ini, saya sendiri tak tertarik dan cenderung membiarkan begitu saja. Toh, cuma fiktif, orang-orang tahu itu hanya karangan buat apa dipermasalahkan! Namun, satu hal yang merupakan prinsip saya ialah walaupun fiktif seharusnya dibuat sedemikian rupa sehingga tidak bertentangan dengan apa-apa yang telah dikabarkan oleh agama. Sehingga di sini, saya berpendapat bahwa seseorang itu bebas berkreatifitas, bebas mengekspresikan imajinasnya tetapi kebebasan ini bukanlah kebebasan yang tak memiliki batas tetapi kebebasan yang memiliki batas sehingga dapat terkontrol dengan baik.

Ketiga, kembali ke masalah komunikasi si "indigo" dengan si "hantu". Seharusnya, kemungkinan besar apa yang dilihat belum tentu itu adalah kebenaran telah benar-benar terjadi pada orang-orang "indigo". Betapa tidak, apa yang mereka lihat justru perwujudan palsu dari para jin menurut kacamata agama, yang saya yakini sebagai kebenaran mutlak. Akan tetapi, justru kebanyakan dari mereka (indigo) menganggap bahwa itulah kebenaran, sehingga tak aneh apabila mereka menyatakan bahwa Jin, Setan, dan Iblis adalah tiga makhluk yang berbeda. Mereka mengaku bisa melihat jin, tetapi tidak bisa melihat setan dan iblis. Itu disebabkan karena setan dan iblis bukanlah golongan jin, katanya. Padahal menurut kacamata agama, setan dan iblis adalah salahsatu dari bangsa jin. Dengan demikian, jelaslah bahwa apa yang dilihat oleh si "indigo" bagi orang-orang yang menjadikan agama sebagai prinsip adalah ilusi belaka atau tipuan dari bangsa jin belaka. Sehingg sangat besar kemungkinan bahwa cerita yag disampaikan oleh si "indigo" dicampurkan oleh pendapat dirinya sendiri berdasarkan apa yang dilihatnya. Yang tentunya merupakan kebenaran relatif.

Begitulah sedikit curhat saya mengenai ketidaksukaan pada jenis cerita mistik yang sebagaimana saya jelaskan di atas. Rata-rata cerita yang berjenis demikian, baru beberapa paragraf saya baca, saya langsung men-skip saja. Toh, rata-rata hanya menyajikan cerita saja tanpa penjelasan mengenai isinya sama sekali. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Para Pengunjung yang budiman! Silahkan untuk memberikan saran, kritikan, dan komentarnya mengenai artikel yang ada di web ini. Namun, tetap memperhatikan etika dalam memberikan saran, kritikan, dan komentar.