Laman

Senin, 17 Februari 2014

Keanehan Kaum Sufi : Sombong Dengan Ilmu Hakikat

Orang-orang sufi seringkali membangga-banggakan diri mereka di atas kaum muslimin pada umumnya karena mereka mengaku memiliki ilmu hakikat yang tidak dimiliki oleh kebanyakan kaum muslimin yang hanya memiliki ilmu syari’at saja. Mereka sering berbicara masalah hakikat dari suatu perkara, baik itu keyakinan, ucapan, maupun perbuatan yang sebagiannya –menurut pandangan saya-  secara fisik bertentangan dengan aturan syari’at. Untuk membenarkan yang mereka lakukan, mereka pun membawakan dalil-dalil yang salahsatunya ialah kisah perjumpaan Nabi Musa –‘Alaihissalam- dengan Nabi Khidhr –‘Alaihissalam-, sebagaimana yang telah dikisahkan dalam Al-Qur’an surat Al-Kahfi ayat 60-82. Disini saya hanya ingin sedikit mempertanyakan dalil yang mereka bawakan tersebut :



1. Nabi Khidhr –‘Alaihissalam- bukanlah umat Nabi Musa –‘Alaihissalam- sehingga beliau tidak diwajibkan taat kepada aturan yang dibawa oleh Nabi Musa –‘Alaihissalam-;  Namun, mereka (orang-orang sufi) mengaku bagian dari umat Nabi Muhammad –Shollallohu ‘Alaihi Wasallam- akan tetapi keluar dari ketaatan pada aturan yang dibawa oleh Nabi Muhammad –Shollallohu ‘Alaihi Wasallam-, apakah perbuatan mereka ini bisa dibenarkan!? Ataukah mereka menganggap bahwa derajat mereka setara dengan nabi sehingga diperbolehkan untuk keluar dari aturan yang dibawa oleh Nabi Muhammad –Shollallohu ‘Alaihi Wasallam-?

2. Nabi Khidhr –‘Alaihissalam- membawa aturan yang berbeda dengan aturan yang dibawa oleh Nabi Musa –‘Alaihissalam- sehingga pantaslah apabila Nabi Musa –‘Alaihissalam- merasa heran dengan perbuatan beliau yang dalam aturannya perbuatan tersebut termasuk perbuatan zholim;  Apakah orang-orang sufi menganggap bahwa mereka telah membawa aturan yang berbeda dengan aturan yang dibawa oleh Nabi Muhammad –Shollallohu ‘Alaihi Wasallam- sehingga seringkali mereka berbuat sesuatu yang aneh dalam pandangan syari’at islam?

3. Aturan yang dibawa oleh Nabi Musa –‘Alaihissalam- adalah untuk bangsanya, yaitu Bani Isroil, yang merupakan manusia biasa sehingga penghukuman terhadap suatu perkara berdasarkan zhohirnya. Sedangkan aturan yang dibawa oleh Nabi Khidhr –‘Alaihissalam- bukanlah untuk manusia biasa melainkan hanya untuk dirinya sendiri sehingga wajar saja penghukuman yang beliau lakukan terhadap suatu perkara bukan berdasarkan zhohirnya melainkan berdasarkan wahyu yang diterimanya mengenai apa yang tersembunyi dibalik perkara tersebut. Coba bayangkan apabila aturan Nabi Khidhr –‘Alaihissalam- ini diterapkan kepada manusia biasa! Niscaya akan terjadi kekacauan, orang-orang akan banyak melakukan berbagai macam kerusakan dan pertumpahan darah dengan alasan apa yang tersembunyi dibalik kerusakan dan pertumpahan darah tersebut. Adapun aturan yang dibawa oleh Nabi Muhammad –Shollallohu ‘Alaihi Wasallam- adalah sejenis dengan aturan yang dibawa oleh Nabi Musa –‘Alaihissalam-, yaitu menghukumi berdasarkan zhohir, sebagaimana sabdanya : “Sesungguhnya aku diutus bukan untuk memeriksa hati manusia!...”; Apakah orang-orang sufi berkeinginan untuk menghapuskan aturan yang dibawa oleh Nabi Muhammad –Shollallohu ‘Alaihi Wasallam- lalu menggantinya dengan aturan Nabi Khidhr –‘Alaihissalam- walaupun dengan resiko terjadinya kerusakan dan pertumpahan darah atas nama apa yang tersembunyi dibalik hal tersebut?

4. Nabi Khidhr –‘Alaihissalam- tidak merendahkan oranglain dengan ilmu yang dimilikinya, bahkan beliau berkata kepada Nabi Musa –‘Alaihissalam- , sebagaimana yang diriwayatkan dalam Kitab Tafsir Imam Ibnu Katsir –Rohimahulloh- : “Sesungguhnya aku memiliki ilmu yang engkau tidak memilikinya dan engkau pun memiliki ilmu yang aku tidak memilikinya.”; Apakah orang-orang sufi menganggap bahwa mereka lebih berilmu dari para ‘ulama sehingga mereka berani mencemooh ulama yang ingin menerapkan aturan yang dibawa oleh Nabi Muhammad –Shollallohu ‘Alaihi Wasallam-?

5. Aturan Nabi Khidhr –‘Alaihissalam- tidak bisa dihapuskan oleh aturan Nabi Musa –‘Alaihissalam-. Oleh sebab itulah, Nabi Khidhr –‘Alaihissalam- tetap menjalankan aturannya walaupun ada Nabi Musa –‘Alaihissalam- di sisinya. Akan tetapi, aturan keduanya bahkan aturan seluruh nabi telah dihapuskan oleh aturan Nabi Muhammad –Shollallohu ‘Alaihi Wasallam-; Apakah orang-orang sufi menganggap bahwa aturan Nabi Khidhr –‘Alaihissalam- masih berlaku sehingga mereka dengan beraninya mengesampingkan aturan Nabi Muhammad –Shollallohu ‘Alaihi Wasallam-? Betapa anehnya mereka, mereka mengakui kenabian Muhammad –Shollallohu ‘Alaihi Wasallam- dan mengakui bagian dari umatnya tetapi mengesampingkan aturannya, ataukah mereka tidak mengakui Muhammad –Shollallohu ‘Alaihi Wasallam- sebagai penutup para nabi sehingga mereka berani mengamalkan aturan lain selain aturannya?

6. Seandainya Nabi Khidhr –‘Alaihissalam- hidup di jaman Nabi Muhammad –Shollallohu ‘Alaihi Wasallam-, niscaya beliau akan datang menemui Nabi Muhammad –Shollallohu ‘Alaihi Wasallam-, menyatakan keimanan kepadanya dan membantunya dalam menyebarkan agama islam serta beliau pun pasti akan membuang seluruh aturannya dan mengikuti aturan Nabi Muhammad –Shollallohu ‘Alaihi Wasallam-, bahkan beliau akan berkata pada para pengikutnya, “Tinggalkanlah ajaranku, lalu ikutilah Nabi ini!” ; Namun, orang-orang sufi berbuat sebaliknya, mereka mengambil aturan Nabi Khidhr –‘Alaihissalam- lalu mencampakkan aturan Nabi Muhammad –Shollallohu ‘Alaihi Wasallam-. Mereka mengaku mencintai Nabi Khidhr –‘Alaihissalam- tetapi mereka tidak mengikuti langkah-langkahnya (yaitu beriman pada aturan yang dibawa oleh Nabi Muhammad –Shollallohu ‘Alaihi Wasallam-), bukankah ini menandakan cinta mereka hanyalah cinta yang semu?

7. Seandainya ilmu hakikat yang mereka maksudkan itu dibenarkan, lantas kenapa para sahabat tidak ada yang melakukan hal serupa dengan dalil yang serupa? Bahkan para sahabat hanya menerapkan aturan-aturan yang menurut orang-orang sufi sebagai ilmu syari’at. Selain itu, Imam Asy-Syafi’i –Rohimahulloh- juga mengatakan bahwa siapa saja yang melihat hal-hal yang diluar kebiasaan terjadi pada diri seseorang maka lihatlah pengamalannya terhadap aturan-aturan islam, apabila ia seorang yang jauh dari aturan islam maka keluarbiasaannya itu harus ditolak; Apakah orang-orang sufi menganggap bahwa mereka lebih mulia dari para sahabat sehingga mereka berani keluar dari aturan syari’at?

Demikianlah, pertanyaan-pertanyaan saya untuk orang-orang sufi, bagi anda yang ingin meluruskan pertanyaan saya di atas, saya persilahkan. Pun untuk anda yang ingin membantah pertanyaan saya di atas, saya persilahkan juga. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Para Pengunjung yang budiman! Silahkan untuk memberikan saran, kritikan, dan komentarnya mengenai artikel yang ada di web ini. Namun, tetap memperhatikan etika dalam memberikan saran, kritikan, dan komentar.