Adalah filsafat yang
membongkar segala macam ilmu dari akarnya. Berkatnya-lah berbagai bidang ilmu
dunia mencapai kejayaan. Gerakannya kolosal, tak terikat oleh norma-norma
tertentu bahkan hingga norma agama. Filsafat ini erat kaitannya dengan berfikir
kritis sehingga saya sangat menyukainya. Walaupun terkadang ketika pikiran
sedang penat, saya merasa pusing disuguhi pemikiran-pemikiran yang kritis.
Selain itu, kesukaan saya terhadapnya tidaklah membuat saya mengambil
keseluruhan bagiannya. Saya hanya mengambil apa yang saya perlukan dalam
berpikir kritis yang dicanangkan olehnya. Ini saya lakukan sebagai bentuk
perhatian terhadap nasehat-nasehat dari para ‘ulama mengenai “keburukan”
filsafat dalam memandang agama. Sebagai contoh ialah Al-Imam Abu Hamid Al-Ghozali
–Rohimahulloh-, diakhir hayatnya berpendapat bahwa filsafat tidak
menambah ilmu dan keyakinan. Bahkan Al-Imam Asy-Syafi’i –Rohimahulloh-
pun pernah berkata, “Tidak ada satu pun yang lebih aku benci daripada ilmu
filsafat dan ahli filsafat.”.
Eiitt, tunggu dulu. Saya di
sini tidak berniat untuk membahas filsafat dan “keburukannya” itu. Saya hanya
ingin sedikit berbagi apa yang ada dalam pikiran saya sebagai bentuk berpikir
kritis terhadap sesuatu yang saya dapatkan dan memang sesuatu tersebut berhak
untuk saya pikirkan. Begini, dalam beberapa pekan yang terakhir, saya membaca
tulisan yang cukup menarik hasil buah tangan salahsatu penulis dan admin di web
ini. Tulisan tersebut termasuk “sepuh” di web ini karena di sana tercantum
waktu penerbitannya, sekitar setahun yang lalu. “Manusia : Apakah kitasatu-satunya?”, karya Autumnfairy. Itulah judul tulisan yang saya akan
komentari itu. Sebenarnya saya tidak berani berkomentar terhadap isi tulisan
tersebut, mengingat tingkatan ilmu sains saya belum mencapai derajat tsiqoh.
Akan tetapi, saya menjadi sangat tergelitik untuk menulis ketika saya lihat
tulisan tersebut menggandeng salahsatu ayat dalam Al-Qur’an. Oleh sebab itu,
tulisan saya ini terbatas pada sisi agama saja sedangkan untuk sisi sains dan
ilmu pengetahuan (dunia) tidak akan saya bahas.
Baiklah, saya mulai komentar
saya. Pertama, mengenai ayat Al-Qur’an yang dibawakan yaitu Surat
Al-Baqoroh ayat ke-30. Dalam ayat tersebut Alloh –Subhanahu Wa Ta’ala-
berfirman yang artinya :
“Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’ “ [QS.
Al-Baqoroh : 30]
Terkait kalimat yang
digarisbawahi pada ayat di atas, Kang Autumnfairy berkata,
===================================
“Mengapa para Malaikat
menjawab seperti itu, sedangkan mereka adalah makhluk yang tercipta untuk
selalu patuh, hingga mereka sama sekali tidak mungkin meragukan perintah Tuhan
akan penciptaan Manusia bahkan
sebelum Manusia sendiri terciptakan.”
===================================
Perlu diketahui bahwa ucapan
para Malaikat di atas bukan dalam rangka menentang atau memprotes Alloh
–Subhanahu Wa Ta’ala-, bukan pula karena dorongan dengki terhadap manusia.
Terlebih lagi ketidakmungkinan ini ditambah dengan sifat para Malaikat yang
tidak pernah mendahului firman-Nya, tidak pernah menanyakan sesuatu kepada-Nya
yang mereka tidak diberikan ijin untuk mengemukakannya. Sebagaimana firman-Nya
:
“mereka
itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan
perintah-perintahNya.” [QS.
Al-Anbiyaa’ : 27]
Sebenarnya,
hal ini telah dikemukakan oleh Kang Autumnfairy melalui perkataannya,
“...sedangkan mereka adalah makhluk yang tercipta
untuk selalu patuh, hingga mereka sama sekali tidak mungkin meragukan perintah
Tuhan....”. Saya di sini hanya menegaskan kembali.
Al-Imam Ibnu Katsir –Rohimahulloh-
dalam kitabnya yang sangat fenomenal itu (Kitab Tafsir Imam Ibnu Katsir)
menyatakan bahwa ucapan para Malaikat di atas adalah untuk meminta informasi
dan pengetahuan tentang hikmah yang terkandung di dalam penciptaan itu.
Seolah-olah para Malaikat berkata, “Wahai Tuhan kami, apakah hikmah yang
terkandung dalam penciptaan mereka, padahal diantara mereka ada orang-orang
yang membuat kerusakan di muka bumi dan mengalirkan darah? Jika yang dimaksud
adalah agar Engkau disembah, maka kami selalu bertasbih memuji dan menyucikan
Engkau.”. Dan ternyata penafsiran ini telah dibawakan oleh Kang
Autumnfairy secara sirr pada kutipan terjemahan ayat yang dicantumkan
dalam tulisannya.
===================================
“...Mereka
bertanya (tentang hikmat ketetapan Tuhan itu dengan berkata): “Adakah
Engkau (Ya Tuhan kami) hendak menjadikan di bumi itu orang yang akan membuat
bencana dan menumpahkan darah (berbunuh-bunuhan), padahal Kami senantiasa
bertasbih dengan memuji-Mu dan mensucikan-Mu?...”
===================================
Ok, para Malaikat bertanya
pada Tuhan mengenai hikmah diciptakannya makhluk yang akan menjadi kholifah di
muka bumi tetapi makhluk ini akan membuat kerusakan dan pertumpahan darah.
Sedangkan Tuhan hanya berfirman “Akan” bukan “Telah”, itu artinya makhluk
tersebut belum diciptakan. Lalu, bagaimana para Malaikat bisa mengetahui bahwa
makhluk tersebut akan melakukan kerusakan dan pertumpahan darah di muka bumi?.
Al-Imam Ibnu Katsir –Rohimahulloh- mengemukakan beberapa tafsiran para
‘ulama ahli tafsir dalam kitabnya itu. Namun, diantara penafsiran tersebut
hanya ada tiga penafsiran yang masyhur dibawakan oleh para ‘ulama ahli
tafsir, yaitu :
Penafsiran
yang pertama; para Malaikat mengetahui perihal makhluk
tersebut karena mereka diberitahu oleh Alloh –Subhanahu Wa Ta’ala- mengenai
tabiat anak-cucu Adam, bahwa (sebagian) anak-cucu Adam akan melakukan kerusakan
dan pertumpahan darah. Diantaranya penafsiran ini diriwayatkan oleh dua orang
sahabat Nabi, yaitu Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Mas’ud –Rodhiyallohu ‘Anhuma-,
bahwa Alloh -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya
Aku ingin menciptakan kholifah di muka bumi!” Para malaikat bertanya:
“Bagaimana (tabiat) kholifah tersebut?” Alloh -Subhanahu wa Ta’ala- menjawab:
“Ada diantara anak cucunya yang berbuat kerusakan dan saling membunuh”.
Penafsiran
yang kedua; yang dimaksud dengan kholifah ialah
orang yang melerai persengketaan diantara manusia, yaitu memutuskan hukum
terhadap apa yang terjadi di kalangan mereka menyangkut perkara-perkara
penganiayaan, dan melarang mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan
serta dosa-dosa. Dengan demikian, para Malaikat mengetahui bahwa manusia akan
melakukan pertumpahan darah dan kerusakan di muka bumi berdasarkan pengertian
dari kata kholifah tersebut.
Penafsiran
yang terakhir; Penafsiran ini dinukil oleh Al-Imam
Al-Qurthubi –Rohimahulloh- bahwa ada mahkluk yang menghuni bumi sebelum
manusia, yaitu jin. Makhluk ini melakukan kerusakan dan pertumpahan darah di
muka bumi hingga Alloh –Subhanahu Wa Ta’ala- mengutus pasukan malaikat yang
dipimpin oleh Iblis untuk mengusir bangsa jin ke arah pantai dan puncak gunung.
Setelah itu, Alloh –Subhanahu Wa Ta’ala- pun menciptakan Nabi Adam
–‘Alaihissalam-. Oleh sebab inilah, para Malaikat meng-qiyas-kan sifat
manusia itu dengan sifat jin sehingga para Malaikat pun berkata sebagaimana
dalam ayat di atas.
Kang
Autumnfairy berkata dalam tulisannya,
===================================
“Menurut sastra arab,
kata khalifah dapat
juga diartikan sebagai Pemimpin atau Pengganti. Apakah yang hendak digantikan oleh kaum Manusia?”
===================================
Dalam kitab tafsir Imam Ibnu
Katsir disebutkan beberapa pengertian kholifah, diantaranya ialah
sebagaimana yang disebutkan pada penafsiran yang kedua di atas, pemimpin,
pengganti, penghuni, dan pembangun. Dari beberapa pengertian ini, kita bisa
menafsirkan perkataan para Malaikat itu berbeda-beda. Jika kita memakai
pengertian yang digunakan dalam penafsiran yang kedua di atas, maka tafsirannya
pun akan mengarah pada tafsiran yang kedua tersebut. Dan jika kita memilih
pengertian yang dipakai oleh Kang Autumnfairy, maka tafsirannya pun akan
mengarah pada tafsiran yag ketiga di atas atau malah sependapat dengan Kang Autumnfairy.
Tapi, jika pengertian yang dipakai adalah penghuni dan pembangun, tentunya
tafsirannya akan berbeda lagi. Jadi, pengertian mana yang sebaiknya digunakan,
dong? Ini masih jadi polemik. Kalau bagi saya sih tidak perlu berpusing-ria
memikirkan pengertian mana yang sebaiknya digunakan karena saya lebih condong
pada penafsiran yang pertama. Dalam penafsiran pertama itulah semua pengertian
mengenai kholifah telah tercakup ke dalamnya.
O,ya! Mengenai kata kholifah
yang berarti pemimpin atau pengganti, ini tidak selalu identik dengan
penggantian posisi kekholifahan dari makhluk lainnya kepada manusia. Bisa jadi
maksudnya ialah penggantian posisi kepemimpinan dari anak-cucu Adam yang satu
kepada anak-cucu adam yang lainnya sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam Ibnu
Jarir –Rohimahulloh- yang dinukil oleh Al-Imam Ibnu Katsir –Rohimahulloh-.
Jika yang dimaksud adalah ini, maka pendapat yang mengatakan bahwa ada makhluk
lain yang menjadi kholifah sebelum manusia jelas-jelas tidak sesuai.
Taruhlah pengertian kholifah
yang dimaksud ialah pengganti dari makhluk lainnya. Maka, penafsiran yang
mungkin ialah sesuai dengan apa yag tertuang dalam penafsiran yang ketiga,
yaitu makhluk lain tersebut adalah jin. Penafsiran inilah yang dikenal pada
jaman salafu ash-sholih, adapun penafsiran mengenai makhluk selain jin
tidak dikenal sama sekali pada jaman tersebut. Namun dalam tulisannya, Kang
Autumnfairy melemahkan tafsiran yang ketiga di atas sebagaimana ucapannya dalam
poin ke-2,
==================================
“Menurut surat Al-Hijr ayat
ke-27, bangsa Jin sudah tercipta di Bumi jauh sebelum Manusia. Apakah para
Malaikat mengasumsikan bahwa bangsa Manusia memiliki kemiripan-kemiripan
tertentu dengan bangsa Jin? Kita tidak tahu. Tapi, menurut saya, Manusia dan
Jin hidup dalam dua dimensi yang berbeda, sehingga agak tidak mungkin jika
Manusia tercipta untuk menggantikan posisi Jin.”
==================================
Hanya saja, menurut saya
alasan yang dikemukakan tidak begitu kuat karena pada kenyataannya walaupun jin
hidup di dimensi yang berbeda dengan manusia, mereka masih bisa ikut campur
dalam dimensi tempat manusia berada. Mereka bisa memakan makanan yang dimakan
oleh manusia, mereka bisa meminum minuman yang diminum oleh manusia, bahkan
mereka pun bisa menyentuh dan menggerakkan apa yang bisa disentuh dan
digerakkan oleh manusia. Internvensi mereka di dunia manusia begitu jelas
terasa. Dalil? Dalam perang badar, iblis dan bala tentaranya (setan dari
kalangan jin) ikut dalam barisan pasukan kaum kafir Quraisy. Jin yang ditangkap
oleh Ibnu Mas’ud –Rodhiyallohu ‘Anhu- karena mencuri kurma zakat lalu
memakannya. Jin yang ditangkap oleh Abu Huroiroh –Rodhiyallohu ‘Anhu-
karena telah mencuri harta zakat. Jin yang ditebas oleh Kholid bin Walid –Rodhiyallohu
‘Anhu-. Jin yang dicekik oleh Nabi –Shollallohu ‘Alaihi Wasallam-
karena mengganggu beliau saat sholat. Dan masih banyak lagi. Berdasarkan semua
dalil tersebut, saya rasa suatu hal yang mungkin bahwa jin adalah kholifah
sebelum manusia di muka bumi. Lantas, apakah boleh mengasumsikan manusia dengan
jin sebagaimana yang dilakukan oleh para Malaikat? Mengapa tidak! Karena segi
kemiripan mereka terlihat begitu jelas, yaitu dari segi sifat, wabilkhusus
akal dan hawa nafsu. Terlebih lagi akal merupakan syarat dari kekholifahan
karena hanya makhluk yang berakal-lah yang diserahi tugas kekholifahan oleh
Alloh –Subhanahu Wa Ta’ala-.
***
Bersambung, Insya Alloh!
_________________________
NB : Sebelumnya, saya telah memposting tulisan di atas pada web ini
Referensi
:
>
Kitab Tafsir Imam Ibnu Katsir jilid I
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Para Pengunjung yang budiman! Silahkan untuk memberikan saran, kritikan, dan komentarnya mengenai artikel yang ada di web ini. Namun, tetap memperhatikan etika dalam memberikan saran, kritikan, dan komentar.