Laman

Jumat, 29 Agustus 2014

Apakah Ada Kholifah Sebelum Manusia?



Adalah filsafat yang membongkar segala macam ilmu dari akarnya. Berkatnya-lah berbagai bidang ilmu dunia mencapai kejayaan. Gerakannya kolosal, tak terikat oleh norma-norma tertentu bahkan hingga norma agama. Filsafat ini erat kaitannya dengan berfikir kritis sehingga saya sangat menyukainya. Walaupun terkadang ketika pikiran sedang penat, saya merasa pusing disuguhi pemikiran-pemikiran yang kritis. Selain itu, kesukaan saya terhadapnya tidaklah membuat saya mengambil keseluruhan bagiannya. Saya hanya mengambil apa yang saya perlukan dalam berpikir kritis yang dicanangkan olehnya. Ini saya lakukan sebagai bentuk perhatian terhadap nasehat-nasehat dari para ‘ulama mengenai “keburukan” filsafat dalam memandang agama. Sebagai contoh ialah Al-Imam Abu Hamid Al-Ghozali –Rohimahulloh-, diakhir hayatnya berpendapat bahwa filsafat tidak menambah ilmu dan keyakinan. Bahkan Al-Imam Asy-Syafi’i –Rohimahulloh- pun pernah berkata, “Tidak ada satu pun yang lebih aku benci daripada ilmu filsafat dan ahli filsafat.”.


Eiitt, tunggu dulu. Saya di sini tidak berniat untuk membahas filsafat dan “keburukannya” itu. Saya hanya ingin sedikit berbagi apa yang ada dalam pikiran saya sebagai bentuk berpikir kritis terhadap sesuatu yang saya dapatkan dan memang sesuatu tersebut berhak untuk saya pikirkan. Begini, dalam beberapa pekan yang terakhir, saya membaca tulisan yang cukup menarik hasil buah tangan salahsatu penulis dan admin di web ini. Tulisan tersebut termasuk “sepuh” di web ini karena di sana tercantum waktu penerbitannya, sekitar setahun yang lalu. “Manusia : Apakah kitasatu-satunya?”, karya Autumnfairy. Itulah judul tulisan yang saya akan komentari itu. Sebenarnya saya tidak berani berkomentar terhadap isi tulisan tersebut, mengingat tingkatan ilmu sains saya belum mencapai derajat tsiqoh. Akan tetapi, saya menjadi sangat tergelitik untuk menulis ketika saya lihat tulisan tersebut menggandeng salahsatu ayat dalam Al-Qur’an. Oleh sebab itu, tulisan saya ini terbatas pada sisi agama saja sedangkan untuk sisi sains dan ilmu pengetahuan (dunia) tidak akan saya bahas.

Baiklah, saya mulai komentar saya. Pertama, mengenai ayat Al-Qur’an yang dibawakan yaitu Surat Al-Baqoroh ayat ke-30. Dalam ayat tersebut Alloh –Subhanahu Wa Ta’ala- berfirman yang artinya :

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’ “ [QS. Al-Baqoroh : 30]

Terkait kalimat yang digarisbawahi pada ayat di atas, Kang Autumnfairy berkata, 

===================================
“Mengapa para Malaikat menjawab seperti itu, sedangkan mereka adalah makhluk yang tercipta untuk selalu patuh, hingga mereka sama sekali tidak mungkin meragukan perintah Tuhan akan penciptaan Manusia bahkan sebelum Manusia sendiri terciptakan.”
===================================

Perlu diketahui bahwa ucapan para Malaikat di atas bukan dalam rangka menentang atau memprotes Alloh –Subhanahu Wa Ta’ala-, bukan pula karena dorongan dengki terhadap manusia. Terlebih lagi ketidakmungkinan ini ditambah dengan sifat para Malaikat yang tidak pernah mendahului firman-Nya, tidak pernah menanyakan sesuatu kepada-Nya yang mereka tidak diberikan ijin untuk mengemukakannya. Sebagaimana firman-Nya :

“mereka itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintahNya.” [QS. Al-Anbiyaa’ : 27]

Sebenarnya, hal ini telah dikemukakan oleh Kang Autumnfairy melalui perkataannya, “...sedangkan mereka adalah makhluk yang tercipta untuk selalu patuh, hingga mereka sama sekali tidak mungkin meragukan perintah Tuhan....”. Saya di sini hanya menegaskan kembali.

Al-Imam Ibnu Katsir –Rohimahulloh- dalam kitabnya yang sangat fenomenal itu (Kitab Tafsir Imam Ibnu Katsir) menyatakan bahwa ucapan para Malaikat di atas adalah untuk meminta informasi dan pengetahuan tentang hikmah yang terkandung di dalam penciptaan itu. Seolah-olah para Malaikat berkata, “Wahai Tuhan kami, apakah hikmah yang terkandung dalam penciptaan mereka, padahal diantara mereka ada orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi dan mengalirkan darah? Jika yang dimaksud adalah agar Engkau disembah, maka kami selalu bertasbih memuji dan menyucikan Engkau.”. Dan ternyata penafsiran ini telah dibawakan oleh Kang Autumnfairy secara sirr pada kutipan terjemahan ayat yang dicantumkan dalam tulisannya.

===================================
“...Mereka bertanya (tentang hikmat ketetapan Tuhan itu dengan berkata): “Adakah Engkau (Ya Tuhan kami) hendak menjadikan di bumi itu orang yang akan membuat bencana dan menumpahkan darah (berbunuh-bunuhan), padahal Kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan mensucikan-Mu?...”
===================================

Ok, para Malaikat bertanya pada Tuhan mengenai hikmah diciptakannya makhluk yang akan menjadi kholifah di muka bumi tetapi makhluk ini akan membuat kerusakan dan pertumpahan darah. Sedangkan Tuhan hanya berfirman “Akan” bukan “Telah”, itu artinya makhluk tersebut belum diciptakan. Lalu, bagaimana para Malaikat bisa mengetahui bahwa makhluk tersebut akan melakukan kerusakan dan pertumpahan darah di muka bumi?. Al-Imam Ibnu Katsir –Rohimahulloh- mengemukakan beberapa tafsiran para ‘ulama ahli tafsir dalam kitabnya itu. Namun, diantara penafsiran tersebut hanya ada tiga penafsiran yang masyhur dibawakan oleh para ‘ulama ahli tafsir, yaitu :

Penafsiran yang pertama; para Malaikat mengetahui perihal makhluk tersebut karena mereka diberitahu oleh Alloh –Subhanahu Wa Ta’ala- mengenai tabiat anak-cucu Adam, bahwa (sebagian) anak-cucu Adam akan melakukan kerusakan dan pertumpahan darah. Diantaranya penafsiran ini diriwayatkan oleh dua orang sahabat Nabi, yaitu Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Mas’ud –Rodhiyallohu ‘Anhuma-, bahwa Alloh -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku ingin menciptakan kholifah di muka bumi!” Para malaikat bertanya: “Bagaimana (tabiat) kholifah tersebut?” Alloh -Subhanahu wa Ta’ala- menjawab: “Ada diantara anak cucunya yang berbuat kerusakan dan saling membunuh”.

Penafsiran yang kedua; yang dimaksud dengan kholifah ialah orang yang melerai persengketaan diantara manusia, yaitu memutuskan hukum terhadap apa yang terjadi di kalangan mereka menyangkut perkara-perkara penganiayaan, dan melarang mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan serta dosa-dosa. Dengan demikian, para Malaikat mengetahui bahwa manusia akan melakukan pertumpahan darah dan kerusakan di muka bumi berdasarkan pengertian dari kata kholifah tersebut.

Penafsiran yang terakhir; Penafsiran ini dinukil oleh Al-Imam Al-Qurthubi –Rohimahulloh- bahwa ada mahkluk yang menghuni bumi sebelum manusia, yaitu jin. Makhluk ini melakukan kerusakan dan pertumpahan darah di muka bumi hingga Alloh –Subhanahu Wa Ta’ala- mengutus pasukan malaikat yang dipimpin oleh Iblis untuk mengusir bangsa jin ke arah pantai dan puncak gunung. Setelah itu, Alloh –Subhanahu Wa Ta’ala- pun menciptakan Nabi Adam –‘Alaihissalam-. Oleh sebab inilah, para Malaikat meng-qiyas-kan sifat manusia itu dengan sifat jin sehingga para Malaikat pun berkata sebagaimana dalam ayat di atas.

Kang Autumnfairy berkata dalam tulisannya,

===================================
“Menurut sastra arab, kata khalifah dapat juga diartikan sebagai Pemimpin atau Pengganti. Apakah yang hendak digantikan oleh kaum Manusia?”
===================================

Dalam kitab tafsir Imam Ibnu Katsir disebutkan beberapa pengertian kholifah, diantaranya ialah sebagaimana yang disebutkan pada penafsiran yang kedua di atas, pemimpin, pengganti, penghuni, dan pembangun. Dari beberapa pengertian ini, kita bisa menafsirkan perkataan para Malaikat itu berbeda-beda. Jika kita memakai pengertian yang digunakan dalam penafsiran yang kedua di atas, maka tafsirannya pun akan mengarah pada tafsiran yang kedua tersebut. Dan jika kita memilih pengertian yang dipakai oleh Kang Autumnfairy, maka tafsirannya pun akan mengarah pada tafsiran yag ketiga di atas atau malah sependapat dengan Kang Autumnfairy. Tapi, jika pengertian yang dipakai adalah penghuni dan pembangun, tentunya tafsirannya akan berbeda lagi. Jadi, pengertian mana yang sebaiknya digunakan, dong? Ini masih jadi polemik. Kalau bagi saya sih tidak perlu berpusing-ria memikirkan pengertian mana yang sebaiknya digunakan karena saya lebih condong pada penafsiran yang pertama. Dalam penafsiran pertama itulah semua pengertian mengenai kholifah telah tercakup ke dalamnya.

O,ya! Mengenai kata kholifah yang berarti pemimpin atau pengganti, ini tidak selalu identik dengan penggantian posisi kekholifahan dari makhluk lainnya kepada manusia. Bisa jadi maksudnya ialah penggantian posisi kepemimpinan dari anak-cucu Adam yang satu kepada anak-cucu adam yang lainnya sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam Ibnu Jarir –Rohimahulloh- yang dinukil oleh Al-Imam Ibnu Katsir –Rohimahulloh-. Jika yang dimaksud adalah ini, maka pendapat yang mengatakan bahwa ada makhluk lain yang menjadi kholifah sebelum manusia jelas-jelas tidak sesuai.

Taruhlah pengertian kholifah yang dimaksud ialah pengganti dari makhluk lainnya. Maka, penafsiran yang mungkin ialah sesuai dengan apa yag tertuang dalam penafsiran yang ketiga, yaitu makhluk lain tersebut adalah jin. Penafsiran inilah yang dikenal pada jaman salafu ash-sholih, adapun penafsiran mengenai makhluk selain jin tidak dikenal sama sekali pada jaman tersebut. Namun dalam tulisannya, Kang Autumnfairy melemahkan tafsiran yang ketiga di atas sebagaimana ucapannya dalam poin ke-2,

==================================
“Menurut surat Al-Hijr ayat ke-27, bangsa Jin sudah tercipta di Bumi jauh sebelum Manusia. Apakah para Malaikat mengasumsikan bahwa bangsa Manusia memiliki kemiripan-kemiripan tertentu dengan bangsa Jin? Kita tidak tahu. Tapi, menurut saya, Manusia dan Jin hidup dalam dua dimensi yang berbeda, sehingga agak tidak mungkin jika Manusia tercipta untuk menggantikan posisi Jin.”
==================================

Hanya saja, menurut saya alasan yang dikemukakan tidak begitu kuat karena pada kenyataannya walaupun jin hidup di dimensi yang berbeda dengan manusia, mereka masih bisa ikut campur dalam dimensi tempat manusia berada. Mereka bisa memakan makanan yang dimakan oleh manusia, mereka bisa meminum minuman yang diminum oleh manusia, bahkan mereka pun bisa menyentuh dan menggerakkan apa yang bisa disentuh dan digerakkan oleh manusia. Internvensi mereka di dunia manusia begitu jelas terasa. Dalil? Dalam perang badar, iblis dan bala tentaranya (setan dari kalangan jin) ikut dalam barisan pasukan kaum kafir Quraisy. Jin yang ditangkap oleh Ibnu Mas’ud –Rodhiyallohu ‘Anhu- karena mencuri kurma zakat lalu memakannya. Jin yang ditangkap oleh Abu Huroiroh –Rodhiyallohu ‘Anhu- karena telah mencuri harta zakat. Jin yang ditebas oleh Kholid bin Walid –Rodhiyallohu ‘Anhu-. Jin yang dicekik oleh Nabi –Shollallohu ‘Alaihi Wasallam- karena mengganggu beliau saat sholat. Dan masih banyak lagi. Berdasarkan semua dalil tersebut, saya rasa suatu hal yang mungkin bahwa jin adalah kholifah sebelum manusia di muka bumi. Lantas, apakah boleh mengasumsikan manusia dengan jin sebagaimana yang dilakukan oleh para Malaikat? Mengapa tidak! Karena segi kemiripan mereka terlihat begitu jelas, yaitu dari segi sifat, wabilkhusus akal dan hawa nafsu. Terlebih lagi akal merupakan syarat dari kekholifahan karena hanya makhluk yang berakal-lah yang diserahi tugas kekholifahan oleh Alloh –Subhanahu Wa Ta’ala-.


***
 
Bersambung, Insya Alloh!

_________________________

NB : Sebelumnya, saya telah memposting tulisan di atas pada web ini

Referensi :
> Kitab Tafsir Imam Ibnu Katsir jilid I

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Para Pengunjung yang budiman! Silahkan untuk memberikan saran, kritikan, dan komentarnya mengenai artikel yang ada di web ini. Namun, tetap memperhatikan etika dalam memberikan saran, kritikan, dan komentar.